Denyutnya semakin kencang ketika para petinggi partai melakukan kunjungannya ke daerah-daerah. Secara fisik, dapat dilihat bagaimana wajah kota mendadak berubah warna sesuai dengan warna partai yang punya hajatan. Deretan bendera partai mendominasi jalan-jalan utama, baliho-baliho besar memampangkan photo para petinggi partai, spanduk-spanduk selamat datang dan jargon politik dipasang disetiap sudut kota. Kesan yang ingin dihadirkan dari kemeriahan tersebut adalah partai yang berhajat merupakan partai besar, mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Selain simbol fisik, geliat partai politik juga diwujudkan dari sikap optimisme partai politik dalam menyambut Pemilu ke depan. Optimisme diwujudkan dalam bentuk membangun meyakinan kader partai bahwa pada pemilu ke depan partai yang mereka urus akan memperoleh dukungan kuat dari rakyat. Semua partai membangun keyakinan serupa. Pembeda satu partai dengan partai lainnya hanyalah argumentasi kenapa optimisme itu layak untuk diyakini.
Partai pemenang membangun optimismenya melalui kesuksesan kadernya dalam menjalankan amanah kekuasaan. Adapun kritikan yang sekarang menerpa, dianulir sebagai bentuk kampanye hitam dari orang-orang yang tidak senang dengan kebesaran partai. Sebaliknya partai yang memposisikan dirinya sebagai oposisi membangun optimisme dari kegagalan partai berkuasa. Sedangkan partai politik baru, optimis akan menjadi alternatif atas kebuntuan politik yang sekarang meluas di kalangan masyarakat. Lebih lanjut, atas pertimbangan tersebut para ahli strategi di masing-masing partai politik menetapkan target perolehan suara pada Pemilu ke depan.
Menarik untuk Dicermati
Realitas di atas, menarik untuk dicermati. Apalagi jika realitas di atas disandingkan dengan paparan hasil survei oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI). Survei yang dilakukan September 2011 menunjukan angka ketidakpercayaan publik kepada politisi menyentuh titik krusial yakni angka 51,3 persen. Kalangan politisi yang dijadikan objek dalam survei ini adalah para politisi produk dari pemilu di legislatif maupun eksekutif, baik di tingkat daerah maupun nasional. Artinya, politisi yang dimaksud dalam survei ini adalah produk langsung dan tidak langsung dari partai politik.
Artinya, jika kedua fakta tersebut disandingkan terlihat satu kondisi yang saling bertolak-belakang. Satu sisi me nunjukan sikap optimisme partai untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Sedang fakta lainnya menunjukan bagaimana politisi menjadi kelompok yang tidak dipercaya oleh publik atau masyarakat. Kondisi ini tentu menarik untuk dicermati, bagaimana membaca geliat dan optimisme partai politik serta bagaimana realita tersebut dalam kehidupan masyarakat sipil?
Pertama yang perlu disampaikan adalah tentu tidak ada yang salah dari geliat dan sikap optimisme yang dibangun oleh para pengiat partai. Justru dengan terjaganya aktivitas yang ditunjukan oleh partai menandakan kehadiaran partai politik itu nyata adanya. Ia tidak “organisasi jadi-jadian”, atau organisasi musiman yang terlihat ketika akan pemilu saja. Hal ini, telah ditunjukan oleh sejumlah partai politik. Melalui proses reformasi, kehadiran partai politik diidentifikasikan publik sebagai lokomotif perubahan menuju situasi yang lebih demokratis. Eforia tersebut sangat terbaca dalam Pemilu 1999, diikuti oleh 42 partai politik. Keterbukaan sistem kepartaian bagi sebahagian kalangan–terutama kalangan tua–telah menumbuh harapan untuk mengembalikan politik aliran yang pernah hidup semasa dimasa orde lama. Sehingga tidak dapat terbendung partai-partai politik yang telah terkubur bangkit dari liangnya. Antusias masyarakat juga dapat dilihat dari relatif rendahnya angka golongan putih (Golput), secara nasional berkisar diangka 10%. Pemilu pertama di era reformasi ini berhasil memutarbalikkan pemaknaan masyarakat terhadap partai politik. Identifikasi kehadiran partai politik berbeda jika dibandingkan dengan masa orde baru. Partai politik pada masa orde baru, tidak lebih hanya sekadar prosedural politik untuk mengidentifiakasi dirinya sebagai negara yang demokratis.
Namun lebih dari itu, seharusnya geliat yang ditunjukan oleh partai politik tidak hanya sekedar menunjukkan kehadiran fisiknya saja. Kehadiran fisik seharusnya hadir bersamaan dengan jiwa. Jiwa dari partai politik adalah pelaksanaan fungsi dan peran. Fungsi partai politik adalah melakukan rekrutmen politik, partisipasi politik, pendidikan politik, sosialisasi politik dan komunikasi politik.
Dalam konteks ini, partai politik kita, baru berhasil menjadi media untuk memfasilitasi para aktor untuk berkontestasi dalam perebutan kekuasaan, namun gagal untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam pelaksanaan fungsi sebuah partai. Akibatnya partai politik menampilkan dirinya tak ubahnya seperti iklan yang menjual kecapan, “rancak dilabuah” dan bersifat instan.
Begitu juga dengan sikap optimisme. Membaca target-target yang disampaikan oleh elite partai politik, sangat jelas optimisme yang dibangun berkaitan dengan keyakinan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Menetapkan target untuk satu partai sangat penting. Selain untuk memacu kinerja kader juga dapat dijadikan ukuran keberhasilan.
Namun mencermati gejala yang berkembang, disayangkan target-target yang disampaikan tidak didasari dengan alat ukur yang jelas dan terkadang kosong dengan ide. Pada hal jika mencermati tipologi kepartaian di Indonesia sangat sarat dengan representasi idiologi. Meski pendapat tersebut tidak kuat relevannya untuk konteks kekinian, tapi setidaknya hampir semua partai mengidentifikasi dirinya pada satu pilihan idiologi. Kekosongan ide ini kemudian membawa usaha pencapaian target lebih dominan dengan politik pencitraan dan propaganda. Hal asil, kontestasi antar kader, antarpartai miskin dengan perdebatan ideologis. Kondisi ini tentu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan dinamika kepartaian di periode Orde Lama.
Nah, agaknya optimisme yang tersimbolkan tersebut teralienasi dari realita keseharian. Optimisme yang dibanguan oleh para pengiat partai seperti tidak ada benang merahnya dengan kebijakan politik yang diambil oleh para politisi yang notabene produk langsung atau tidak langsung dari partai politik. Banyak kebijakan yang diambil oleh para politisi tidak populis, tidak mengambarkan jargon partai yang mereka gadang-gadangkan, apalagi mengambarkan idiologis yang diusung.
Contoh yang paling aktual dapat dijadikan argumentasi penidakkan tersebut adalah dalam politik anggaran yang menjadi kekuasaan kader partai di parlemen. Dalam pengalokasian APBD, sangat jelas belum menunjukan politik anggran yang pro masyarakat miskin, gender, pendidikan, kesehatan atau pro pemuda.
Padahal dilihat dari sisi manapun hal-hal tersebut harus menjadi pusat perhatian. Hal tersebut bukan tidak diketahui oleh para politisi, buktinya disetiap kampanye isu-isu kemiskinan, gender, pendidikan, kesehatan dan pemuda tidak pernah absen dari kampanye partai. Tapi realitanya, ketika memasuki arena kebijakan maka anggaran yang bersentuhan dengan kepentingan publik tersebut terlupakan. Sebaliknya, tidak pernah terdengar ada pemotongan jumlah kunjungan kerja anggota legislatif, pembatalan pembelian mobiler dan seterusnya. Alih-alih untuk membatalkan atau memotong, yang ada justeru sederetan argumentasi kenapa kebutuhan tersebut harus dipertahankan.
Angka Golput Tetap Tinggi
Akhirnya, teralenasinya partai politik dari realitas masyarakat, ikut berperan melonjaknya angka golput pada pemilu berikutnya. Pemilu 2004 angka golput naik menjadi 23,24 persen dan Pemilu 2009 anggka tersebut terus meningkat menjadi 29,01 persen. Partai politik tidak lagi diidentifikasikan sebagai tulangpungung perubahan. Bahkan produknya yakni para politisi berdasarkan survei LSI dinilai oleh buruk oleh masyarakat. Jamak dengan penelitian LSI tersebut, lembaga survei Revolt Institute pada tahun 2010 juga menemukan pekerjaan sebagai politisi mendapat respon yang rendah dari pemilih di Sumatera Barat.
Gejala ini tentu tidak boleh berlanjut, bagaimanapun juga partai politik merupakan prasarat dari demokrasi. Tapi partai politik tidak boleh berharap akan terus dipertahankan karena faktor itu. Tetap saja subtansi kehadirannya karena partai politik sebagai media untuk melakukan rekruitmen politik, melakukan pendidikan politik, komunikasi politik dan sosialisasi politik. Untuk mencapai itu, caranya adalah dengan terus meningatkan kapasitas dan kapabilitas dari partai politik itu sendiri. Hal itu tidak terlepas juga dengan sejauh mana partai politik dapat membangun interaksi dengan masyarakat.source : sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar